ILMU AKAN TERUS BERKEMBANG SELARAS DENGAN PERKEMBANGAN ZAMAN YANG SEMAKIN CANGGIH

Selasa, 07 Januari 2014

Nasihat Ayah

Kamu jadi anak lelaki tidak boleh cengeng,” perkataan itu yang sampai sekarang masih terngiang-ngiang di telingaku dan selalu ke luar dari mulut ayah di saat aku kecil meminta sesuatu barang atau ketika aku kalah dalam berkelahi dengan temanku.
Kamu nanti akan jadipagarkeluarga,” kata-kata itu juga sering dilontarkan ketika aku beranjak dewasa sampai berumah tangga.
Saat itu aku pun bertanyapagar” yang dimaksudnya itu, kemudian dia menjelaskan tradisi Minangkabau bahwa pagar itu melindungi kaum wanita di keluargaku yang satu sepersukuan.
Kaum wanita itu harus engkau jaga, memang engkau sebagai lelaki tidak akan mendapatkan tanah pusako, tapi peranannya adalah menjaga,” kalimat itu ke luar dari mulutnya di saat aku mengeluh.

Perkataan ayah memang sangat menyentuh hati, dirinya tidak perlu memarahi dengan kata-kata kasar, tapi cukup dengan beberapa patah kata yang sarat makna filosofisnya. Sampai aku berumah tangga pun, ayah masih selalu memberikan wejangan-wejangan agar aku tidak tergelincir dalam kehidupan dan kuat dalam menghadapi berbagai prahara kehidupan.

Dari raut mukanya yang sarat dengan perjalanan hidupnya itu, selalu menjadi teman di saat aku berduka. Meski cukup bertelepon untuk menanyakan keadaan aku di tanah rantau, tapi engkau akan selalu merasakannya baik di tengah suka dan duka.

“Papa tidak meminta engkau banyak-banyak, hanya satu engkau jangan tinggalkan shalat lima waktu,” perkataan itu kembali muncul.
Karena dari shalat itulah kamu akan mendapatkan petunjuknya dengan tetap berikhtiar meminta kepada Allah SWT hingga berputar kembali ke masa awal kuliah ketika aku diterima di perguruan tinggi negeri, di saat itu keadaan ekonomi keluarga tengah menurun hingga dalam kondisi terpepet untuk membayar uang pendaftaran ulang yang tinggal hanya menyisakan dua hari lagi.
Engkau Shalat Tahajud meminta tolong kepada Allah SWT,” katanya.
Ayah juga merelakan diri harus meminjam ke kanan kiri berangkat ke Jakarta dari Bandung dini hari, hingga pada keesokan harinya dia sudah tiba kembali di rumah dengan wajah tersenyum. “Alhamdulillah, besok kamu bisa daftar ulang,” ungkapnya dengan penuh makna.

Entah karena takut kehilangan yang sedemikian besar, membuat aku selalu terjaga dari tidur dan menengok ke kamarnya setiap aku tengah pulang kampung di Lubuk Alung, Pariaman. Dia tidur begitu tenang di samping Ibu, wajah yang sudah dipenuhi dengan keriput terutama di bagian giginya seiring banyaknya gigi yang sudah tanggal dan rambutnya yang sudah menipis hingga kulit kepalanya terlihat jelas terkena sorotan lampu kamar, sesekali mengeluarkan dengkuran halus karena keletihan seharian bekerja di ladang.

Sesekali jari telunjukku diletakkan di bawah hidungnya untuk merasakan hembusan nafasnya, dia pun terjaga sesaat kemudian melanjutkan mimpinya.
Yaya aku benar-benar takut akan kehilangan seorang sosok ayah yang menjadi tumpuan kaki ketika melangkah, dirinya bisa menjadi teman bisa menjadi sosok sebagai pelindung di kala tengah menghadapi kesusahan dalam menjalani hidup.
“Yah, bagaimana kabarnya, sehat kan,” hampir dua hari sekali aku mencoba bertelepon.
Beginilah kalau sudah tua? Ada saja masalah gak enak badan. Maklum umur udah 64 tahun lebih,” ujarnya dengan nada suaranya yang parau.
Meski usianya sudah tua, namun Ayah selalu tetap energik dan tidak mau diam selalu saja ada yang dikerjakan dari mengurus kandang ayam sampai memetik kopra dan kopi yang bisa menambah uang asap dapur di samping mendapatkan kiriman dari kami anak-anaknya yang berada jauh di rantau.

Kekhawatiran yang berlebihan itu membuat istriku cemburu karena perhatian hanya diarahkan dari pihak laki saja sedangkan dari pihak keluarganya dinilai tidak diperhatikan.
Ada saja yang dipermasalahkan dari saat aku mengirim uang, istriku langsung mengeluarkan wajah cemberut bahkan tega tidak mau menegur hampir satu hari penuh. Kalau mau berbagi harus adil juga, kasih dong orangtua saya juga,” ketusnya saat aku meminta pertimbangan jika berencana menyisihkan uang untuk orang tua di Padang.
Saat aku menyela, “Ibutidak salahnya kita menyisihkan uang untuk orang tua, tokh aku juga mengirim uang untuk keluargamu,”
Pokoknya harus adil, titik…,” tandasnya kembali memotong pembicaraan saat menjelaskan rencana itu mengirim uang.

Ada saja yang selalu dipermasalahkan dari perhatian yang berlebihan terhadap ayah dan ibuku itu.

Sebenarnya aku juga mencoba untuk bersikap adil seperti setiap Lebaran sudah dipastikan membeli barang dari sandal sampai baju koko maupun baju muslim untuk ibuku, seragam dengan kedua orang tua istriku.
Terkadang kalau berbelanja untuk Lebaran, aku sengaja mengajak istriku untuk turut memilih-milih pakaian mana yang layak untuk dibelikan untuk kedua orang tua.

Sebenarnya aku tetap yakin istriku tetap menyayangi kedua orang tuaku, maupun sebaliknya aku juga sayang kepada kedua orang tua istriku. Mungkin hanya faktor komunikasi saja yang membuat kecemburuan itu tetap berjalan.
Salah satunya saat dirinya pernah mendapatkan tugas ke Padang, dirinya rutin menengok ayah dan ibuku serta selalu memberikan perhatian lebih dari membelikan kebutuhan sehari-hari sampai terkadang membelikan pakaian.
Kembali aku teringat kembali akan nasehat ayah yang saat ini wajahnya yang semakin dipenuhi dengan keriput dan pandangan mata yang sudah mulai kabur itu. Jadi laki-laki kamu jangan cengeng dan hadapi semua rintangan. Jangan sekali-kali kau mengeluh. Engkau adalah imam keluarga,” katanya dari balik telepon.