“Kamu jadi
anak lelaki tidak boleh cengeng,”
perkataan itu yang sampai sekarang masih terngiang-ngiang di telingaku dan
selalu ke luar dari mulut
ayah di saat aku kecil meminta
sesuatu barang atau ketika aku
kalah dalam berkelahi dengan temanku.
“Kamu nanti akan jadi
‘pagar’ keluarga,” kata-kata itu juga
sering dilontarkan ketika aku beranjak
dewasa sampai berumah tangga.
Saat itu aku pun bertanya “pagar” yang dimaksudnya itu, kemudian dia
menjelaskan tradisi Minangkabau bahwa pagar itu melindungi
kaum wanita di keluargaku yang satu sepersukuan.
“Kaum wanita itu harus
engkau jaga, memang engkau sebagai
lelaki tidak akan mendapatkan tanah pusako, tapi
peranannya adalah menjaga,” kalimat itu ke luar
dari mulutnya di saat aku
mengeluh.
Perkataan ayah memang sangat menyentuh hati, dirinya tidak perlu memarahi dengan kata-kata kasar, tapi cukup dengan beberapa patah kata yang sarat makna filosofisnya. Sampai aku berumah tangga pun, ayah masih selalu memberikan wejangan-wejangan agar aku tidak tergelincir dalam kehidupan dan kuat dalam menghadapi berbagai prahara kehidupan.
Dari raut mukanya yang sarat dengan perjalanan hidupnya itu, selalu menjadi teman di saat aku berduka. Meski cukup bertelepon untuk menanyakan keadaan aku di tanah rantau, tapi engkau akan selalu merasakannya baik di tengah suka dan duka.
“Papa tidak
meminta engkau banyak-banyak, hanya satu engkau jangan
tinggalkan shalat lima waktu,” perkataan itu kembali muncul.
Karena dari shalat itulah kamu
akan mendapatkan petunjuknya dengan tetap berikhtiar meminta kepada Allah SWT hingga berputar kembali ke masa
awal kuliah ketika aku diterima
di perguruan tinggi negeri, di saat itu
keadaan ekonomi keluarga tengah menurun hingga dalam kondisi terpepet
untuk membayar uang pendaftaran ulang yang tinggal hanya menyisakan dua hari lagi.
“Engkau Shalat Tahajud meminta tolong kepada Allah SWT,” katanya.
Ayah juga merelakan
diri harus meminjam ke kanan
kiri berangkat ke Jakarta dari Bandung dini hari, hingga
pada keesokan harinya dia sudah
tiba kembali di rumah dengan
wajah tersenyum. “Alhamdulillah, besok kamu
bisa daftar ulang,” ungkapnya dengan penuh makna.
Entah karena takut kehilangan yang sedemikian besar, membuat aku selalu terjaga dari tidur dan menengok ke kamarnya setiap aku tengah pulang kampung di Lubuk Alung, Pariaman. Dia tidur begitu tenang di samping Ibu, wajah yang sudah dipenuhi dengan keriput terutama di bagian giginya seiring banyaknya gigi yang sudah tanggal dan rambutnya yang sudah menipis hingga kulit kepalanya terlihat jelas terkena sorotan lampu kamar, sesekali mengeluarkan dengkuran halus karena keletihan seharian bekerja di ladang.
Sesekali jari telunjukku
diletakkan di bawah hidungnya untuk merasakan hembusan nafasnya, dia pun terjaga sesaat kemudian melanjutkan mimpinya.
Ya… ya aku
benar-benar takut akan kehilangan seorang sosok ayah yang menjadi tumpuan kaki ketika melangkah, dirinya bisa menjadi
teman bisa menjadi sosok sebagai
pelindung di kala tengah menghadapi
kesusahan dalam menjalani hidup.
“Yah, bagaimana kabarnya, sehat kan,” hampir
dua hari sekali aku mencoba
bertelepon.
“Beginilah
kalau sudah tua? Ada saja masalah gak enak badan.
Maklum umur udah 64 tahun lebih,” ujarnya dengan nada suaranya yang parau.
Meski usianya sudah tua, namun
Ayah selalu tetap energik dan tidak
mau diam selalu saja ada
yang dikerjakan dari mengurus kandang ayam sampai memetik
kopra dan kopi yang bisa menambah uang
asap dapur
di samping mendapatkan kiriman dari kami anak-anaknya
yang berada jauh di rantau.
Kekhawatiran yang berlebihan itu
membuat istriku cemburu karena perhatian hanya diarahkan dari pihak laki saja
sedangkan dari pihak keluarganya dinilai tidak diperhatikan.
Ada saja yang dipermasalahkan dari saat aku
mengirim uang, istriku langsung mengeluarkan wajah cemberut bahkan tega tidak mau
menegur hampir satu hari penuh.
“Kalau mau
berbagi harus adil juga, kasih
dong orangtua saya juga,” ketusnya saat aku meminta
pertimbangan jika berencana menyisihkan uang untuk orang
tua di Padang.
Saat aku menyela, “Ibu…
tidak salahnya kita menyisihkan uang untuk orang
tua, tokh aku juga mengirim
uang untuk keluargamu,”
“Pokoknya harus adil, titik…,” tandasnya kembali memotong pembicaraan saat menjelaskan rencana itu mengirim
uang.
Ada saja yang selalu dipermasalahkan dari perhatian yang berlebihan terhadap ayah dan ibuku itu.
Sebenarnya aku juga mencoba
untuk bersikap adil seperti setiap
Lebaran sudah dipastikan membeli barang dari sandal sampai baju koko
maupun baju muslim untuk
ibuku, seragam dengan kedua orang
tua istriku.
Terkadang kalau berbelanja untuk Lebaran, aku sengaja mengajak
istriku untuk turut memilih-milih pakaian mana yang layak untuk dibelikan
untuk kedua orang tua.
Sebenarnya aku tetap yakin istriku tetap
menyayangi kedua orang tuaku, maupun
sebaliknya aku juga sayang kepada
kedua orang tua istriku. Mungkin hanya faktor komunikasi
saja yang membuat kecemburuan itu tetap berjalan.
Salah satunya saat dirinya
pernah mendapatkan tugas ke Padang, dirinya rutin menengok
ayah dan ibuku serta selalu memberikan
perhatian lebih dari membelikan kebutuhan sehari-hari sampai terkadang membelikan pakaian.
Kembali aku teringat kembali akan nasehat
ayah yang saat ini wajahnya yang semakin dipenuhi dengan keriput dan pandangan
mata yang sudah mulai kabur itu.
“Jadi laki-laki
kamu jangan cengeng dan hadapi
semua rintangan. Jangan sekali-kali kau mengeluh. Engkau adalah imam keluarga,”
katanya dari balik telepon.