Aku tercipta dari sebuah makhluk besi besar, mengkilap jika terkena cahaya matahari. Bersama adik-adiku yang berjumlah ribuan, bahkan milyaran. Terkumpul dalam sebuah bak raksasa yang sungguh teduh suhunya. Dari tempat persalinan inilah, aku lahir melihat dunia yang sungguh belum pernah aku lihat sebelumnya. Tapi tidak sepenuhnya asing. Ada rasa seperti pernah merasakan sesuatu. Seperti dejavu. Iya, aku baru tahu. Sesuatu yang sangat terang itu orang-orang menyebutnya cahaya.
Banyak aku dengar dari orang-orang, bahwa cahaya sangat berpengaruh bagi bumi. Cahaya menjadi sumber kehidupan berbagai makhluk di dalamnya. Manusia perlu berhutang budi pada cahaya. Walaupun ia menyilaukan, tapi dirinyalah obat gratis, yang tidak perlu resep dokter untuk menebusnya. Yah, aku masih belum puas untuk menyibak segala informasi-informasi mengenai cahaya. Serasa ada beban di hati ini yang belum terselesaikan. Aku belum begitu bisa mendapat jawaban. Ada keterkaitan apa antara aku dan cahaya. Tidak dapat kugambarkan begitu jelas. Rasa ini terus berusaha menjebol tembok besar pertahanan rasa amanku. Bertransformasi menjadi rasa penasaran yang meledak-ledak.
Aku ditempatkan di sebuah tempat dimana banyak orang-orang berkunjung untuk membawa sesuatu yang mereka inginkan dari tempat ini. Aku sangat senang berada disini. Lihatlah lantai kayu parquet yang hangat itu. Begitu indah menjadikan ruangan ini lebih berbobot. Aku duduk di pelataran paling atas memandangi ikan-ikan yang sudah terbelah-belah, dijadikan belanjaan oleh para ibu-ibu. Roti yang nampak gemuk-gemuk di ujung sana. Ludes jadi rebutan semua orang. Lucunya adalah teh dan kopi, yang seakan tidak mau dipisahkan dari rak itu. Semua tampak menyenangkan disini.
Seketika pandanganku tertuju
pada seorang anak kecil berpakaian
putih agak lusuh, meminta kepada ibunya untuk
dibelikan kue coklat yang letaknya persis di seberang
tempatku.
Ibunya hanya diam menanggapi
permintaan anaknya. Sementara anaknya terus meminta.
“Sudah lama bu aku tidak merasakan
kue coklat itu, tidakah ibu
menyisikan uang sedikit saja?”.
“Maaf nak, Kue coklat itu
sangat mahal untuk kita sekarang,
gaji yang ibu terima masih belum
cukup”
“Aku ingin waktu kembali seperti
dulu bu, ketika Ayah masih
ada di rumah”.
Sedikit terisak
Mata sang ibu berkaca-kaca
“Ibu janji, kalau ada uang
pasti ibu belikan, kau adalah
anakku satu-satunya, jangan sedih ya”.
“Makasih bu, aku juga
berjanji akan terus bersabar”.
Sang ibu masih berada di tempatnya,
lalu bergumam “Terimakasih telah memberikan malaikat kecil itu padaku,
ya tuhan”. Ia tiba-tiba
mengambil berbagai macam benda di
depannya, dan ia berhenti di
depanku. Aku sempat tegang pada situasi ini.
Aku tak menyangka
ternyata ia
meraihku juga untuk di bawa
bersama barang-barang tadi. Kalau saja suaraku dapat terdengar. Aku akan
berteriak sekeras-kerasnya,
untuk mengucapkan. Selamat tinggal kawan.
Aku berada di sebuah becak dengan terpal yang tidak tertutup, sepertinya rusak. Dengan begitu, terpaan cahaya matahari yang panas langsung menerpa kami. Mungkin bagi sebagian orang, kepanasaan di siang hari sangat menjengkelkan. Namun bagiku seperti bertemu dengan kesenangan, yang sambung menyambung menjadi simpul ketentraman.
Sesampainya di rumah, sang anak langsung menuju ruang keluarga untuk duduk melepas lelah. Sang ibu menghampiri dengan segelas air dingin. Aku terpana melihat rumah sederhana ini. Berdindingkan bata yang terlihat sangat kusam. Dengan lantai ubin hitam yang mungkin tidak terlalu istimewa bagiku. Namun semuanya menjadi tidak perlu indah. Melihat kedamaian keluarga ini.
Baru saja bangun dari tidur yang cuma sebentar sedari tadi. Tiba-tiba, aku sudah berada di atas baskom ini. Bercampur dengan beberapa teman baruku, yang bernama: mentega, terigu, susu, telur, dan cokelat. Aku memperkenalkan diri, bahwa aku adalah gula. Tubuhku manis, sangat disukai orang-orang. Namun aku masih bersedih, karena belum bisa mengetahui siapa diriku dan darimana aku berasal. Hubungan batinku dengan cahaya matahari, masih menjadi misteri dingin bagiku.
Malam ini, saat ibu dan anak
berkumpul di meja makan. Dengan hidangan istimewa tersaji di antara
aku yang sudah berbentuk kue coklat
yang harum. Sungguh sebuah
kehormatan berada di panggung meja
berkain batik ini. Menyuguhkan kenikmatan selingkar kue cokelat. Kepada dua orang
yang sedang melawan tantangan kehidupan dan berusaha menikmatinya.
“Terima kasih ibu, sudah
membuatkan kue coklat ini, aku
senang sekali malam ini. semoga ayah yang ada di penjara
sana turut bahagia ya bu”.
“Hanya ini yang bisa ibu berikan
untukmu, ini tidak seberapa dibandingkan kue coklat di toko
tadi”.
“Aku akan selalu sayang
padamu bu, walaupun banyak orang yang berkata jelek pada kita”.
Seketika sang ibu mendekap anaknya dan berucap dengan
pelan. “Nak, kau tahu keluarga
kita bagaikan tebu, sebelum menjadi
gula yang manis,
dirinya adalah tanaman yang rupanya sama sekali tidak
indah. Namun ia adalah
tanaman yang mandiri yang mampu berkembang sendiri dengan bantuan cahaya matahari. Sepanjang siang, pohon tebu
selalu disinari cahaya matahari, kau tau kan panasnya?. Tetapi berkat cahaya matahari lah, dia
bisa berfotosintesis.
Sehingga ia
dapat tumbuh dan bisa dijadikan
gula yang manis. Tentunya juga kue coklat
ini”. Seraya menyuapi anaknya
kue coklat itu.
Aku sebagai gula akhirnya paham. Bahwa, dulu cahaya matahari sering mengunjungiku yang masih berwujud tebu. Untuk sekedar bersapa ria dengan klorofil-klorofil yang berproses menjadi suatu zat manis, cikal bakal aku yang sekarang. Aku telah sadar, bahwa malam ini mungkin menjadi malam terakhirku hidup di dunia ini. Tetapi aku tidak menyesal juga mati untuk keluarga ini. Setidaknya dari mereka, aku tahu. Bahwa aku dan cahaya memang pernah bersama.