ILMU AKAN TERUS BERKEMBANG SELARAS DENGAN PERKEMBANGAN ZAMAN YANG SEMAKIN CANGGIH

Selasa, 07 Januari 2014

Ku Harus Pisah Dengannya

Cerita ini berawal saat saya masuk SMA tepatnya kelas sepuluh semua berawal saat seseorang pelajar perempun pindah sekolah dari pandeglang ke tangerang ya kira-kira akhir pelajaran semester lah, tapi dia di pindahin lagi ke kelas yang lain

Semua bermula di kelas sebelas awalnya bermula saat bulan april saat itu dia mendekati saya dan saat itu saya takut sekali dengan perempuan sampai-sampai saya jadi bahan tertawa teman-teman saya, karena saat dia memegang tangan saya, tangan saya tiba-tiba dingin, bahkan pernah sampai-sampai tidak bisa membuka sebuah permen, bahkan saya sempat bermain jujur, berani tatapan mata dan lain-lain, tepatnya saat pelajaran kewirausahaan saya tidak sengaja meminjam jam tangannya dan lupa mengembalikannya, dan saat itu saya mulai akrab sekali dengan dia, saat itu saya meminta nomor hp dia ke teman saya, dan saya mulai pdkt dengan dia, tepatnya saat kelas 12 un bulan april lalu, dia liburan 4 hari ke pandeglang sedangkan saya di tangerang, sampe akhirnya tanggal 30 april saya jadian dengan dia.

Dia adalah orang pertama yang pernah hadir dalam kehidupan saya, saya sering smsan bahkan telponan sama dia, kenangan yang tidak bisa saya lupakan adalah saat dia memberikan kue ulang tahun buat saya, dia orang pertama yang memberikan kue ulang tahun dan mungkin yang terakhir buat saya, orang tua saya saja lupa dengan ulang tahun saya, sungguh saya terharu dan saya berdoa supaya semua impian dia menjadi kenyataan, dan ke esokan harinya saya jalan dengan dia saya mengajak dia nonton, main game, makan malam, dan mungkin untuk terakhir kalinya saya mengajak jalan dia, setiap saya pulang sekolah saya selalu pulang yang paling terakhir karena saya selalu nemenin dia, karena dia pulang di jemput jam 3, saya sempat jalan-jalan dengan dia sebelum dia pulang bahkan kami hampir menabrak tukang bakso, orang yang sedang telofonan untung aja tidak nabrak, saya bahkan selalu berbohong kepada orang tua saya demi dia, kenangan yang sangat sulit saya lupakan adalah saat dia mengaca dan saat dia menggambar babi, tepat tanggal 14 mei saya ngejenguk ke rumah dia, tepatnya di pesantren abangnya saya rela hujan-hujanan hanya untuk dia, tanggal 15 meinya, dia operasi usus buntu dan kista dan saya sungguh sedih sampai saya menangis, dan saat tanggal 16 mei saya rela tidak pulang ke rumah setelah pulang sekolah hanya untuk datang menjenguknya ke rumah sakit, sampai-sampai saya di omelin orang tua saya karena saya tidak ijin terlebih dahulu, saya sering ngejenguk dia ke rumah sakit dengan teman saya, saya rela melakukan apapun asalkan dia bahagia, bahkan saya rela tidak main bersama teman-teman saya hanya untuk dia dan saat ukk saya membelikan dia sebuah boneka dan saya memberikan boneka itu untuk dia, bahkan saya bermain balon dengan dia saat ukk di sekolah.
Dan sekarang semua impian yang sering dia ceritakan ke saya telah menjadi kenyataan dan saya harap semua impian yang belum tercapai akan menjadi kenyataan.

Tepat akhir 12 juni dia harus pindah ke pandeglang, sebelum ke pandeglang saya jalan dengan dia dan dengan teman saya dan kami hampir menabrak sebuah mobil, sungguh saya sangat sedih sekali sampai-sampai saya makan 5 butir panadol untuk menangkan pikiran saya karena dia akan pindah sekolah ke pandeglang, hingga akhirnya dia pergi ke pandeglang, dan tepat tanggal 15 juni saya putus dengan dia, saya putus karena saya sayang dengan dia dan saya sadar kalau saya sudah tidak sanggup lagi untuk membuat dia bahagia dan saya berjanji untuk melihat dia bahagia dengan saya atau pun dengan orang lain walaupun saya sedih tapi saya rela asalkan dia bahagia, karena lebih baik di kecewakan dari pada mengecewakan.

Dan mungkin dia sekarang bahagia di pandeglang, dan saya selalu akan mengingat semua kenangan yang telah dia berikan, dan mungkin saya sendirian yang akan pulang terakhir di sekolahan karena sudah tidak ada yang menemani saya lagi. dan dia adalah nabiela amaly humaidy latief yang akan jadi alpha dan omega yaitu yang pertama dan terakhir di kehidupan saya, dia adalah orang yang menjadi pelangi di hari saya yang sempat tak berwarna lagi dan dia adalah orang yang telah menyadarkan saya kalau saya benar-benar hidup di dunia, dia adalah penyemangat saya sekolah dan mungkin tahun depan saya sudah tidak semangat sekolah karena sudah tidak ada dia lagi dan sungguh saya sedih dan sekarang pun saya sedang menangis menulis cerpen ini dan kini bayangannya Menemani sepinya hari ku Yang sempat tak berwarna lagi.

 

Aku dan Aktifitasnya

Lama rasanya tak kutorehkan sebaris tulisan dalam handphoneku ini. Biasanya setiap berkutat dengannya kususun kata demi kata yang terngiang di kepalaku, kuketik perlahanan dengan keyboard virtualku, dan kusimpan dalam file ‘txt’ standar, agar mudah kubuka di gadget apa saja ketika hendak membacanya. Terkadang, jika ada waktu senggang dan kebetulan memiliki pulsa lebih, tulisanku ku-publish di blog sederhanaku.

Hari ini beberapa hari dari hari Fitri, aku kembali melakoni kehidupan mengganggur penuh imajinasiku. Kehidupanku yang membosankan dan acapkali terkhayalkan sesuatu yang berlebihan. Mungkin memang sepatutnya ‘ku berpuasa agar bisa lebih menahan diri dari khayalan yang tercela.

Kata-kata itu mulai lagi – berbisik di dalam kepalaku. Diriku terkadang seperti orang gila, kemana-mana membawa khayalan. Terkadang aku tersenyum sendiri, terkadang pula aku ingin bersedih – mengikuti alur jalan cerita khayalan dalam kepalaku.

Sepenggal cerita misteri berproyeksi dalam otakku. Tak akan berhenti ia berjalan, jika tanpa kukeluarkan dalam bentuk sebuah tulisan.

Petir menyambar, menggelegar menyelingi derau hujan deras yang bergemuruh. Kilat berpendar memancarkan cahaya putih menyilaukan yang ketika kita menatapnya seolah penglihatan kita menjadi merah, seakan hujan telah berubah menjadi hujan darah. Aku dalam kesendirianku meringkuk sendiri di dalam rumahku di ruang tengah depan tv, yang tengah bertemaram ria diterangi oleh cahaya kecil dari lampu tempel karena memang kebetulan wilayahku sedang giliran mati lampu.

Cuaca dingin serasa merasuk ke celah tulang-tulangku. Memaksaku meringkuk bak udang di atas kasurku yang tipis – tanpa berbalut selembar selimut pun untuk menolong menghangatkan tubuhku.

Entah mengapa malam itu aku kesulitan tidur. Cuaca yang dingin, berisik, dan juga didukung oleh PLN yang menggilir jatah hidup lampu bak bagi sembako, bergiliran, membuat suasana malamku jadi tidak nyaman, sehingga sangat sulit rasanya untuk kupejamkan mataku ini.

Mula-mula aku hanya biasa saja. Namun seiring malam yang semakin larut dan cuaca yang kian tak bersahabat, perlahan membuatku mendadak merasakan suasana yang lain. Bulu kudukku tiba-tiba merinding.

Tepat kira-kira saat tengah malam tiba, aku dikagetkan oleh suara pintu salah satu kamar yang terbanting-banting berulang kali. Aku kaget bukan main dan nafasku pun seketika berat. Pikirku, semua jendela telah tertutup rapat, jadi tak mungkin ada angin yang masuk dan menggerakkannya, apalagi ritmenya terasa sangat intens dan jaraknya pun tak terlalu jauh dengan posisiku berbaring, jadi mustahil ada angin yang menggerakkannya jika aku tak merasakan angin tersebut sama sekali.

Aku mencoba bertahan berpikiran positif, tapi tetap tak bisa. “Aku mengenal baik kamar tersebut!” Batinku. Aku ingat setiap cerita dari orang yang pernah menempatinya. Kesaksian hidup dari orang-orang yang pernah merasakan suasana mistisnya membuatku takut, “adakah giliran aku pula yang berkesempatan mengalaminya?” Semoga saja tidak! Mohonku dalam hati.

Konon di suatu pagi, ketika kami sekeluarga sedang sarapan, ibuku bertanya kepada kakak tertuaku, “Hei Dan, kenapa tadi malam lampu tempel di kamarmu mati?” Tanyanya dengan heran. Karena kebetulan semalam wilayah kami sedang terkena giliran mati lampu sampai pagi, karena itulah saban sorenya kami telah menyiapkan lampu-lampu tembok kecil atau yang biasa juga disebut lampu tempel, sebagai penerangan bagi tiap-tiap ruangan yang diperlukan.

“Tidak kok!” Kata kakak tertuaku tersebut menjawab, “Lampunya menyala kok sampai pagi.”

Ibuku sontak terdiam, seingatnya malam itu sebelum tidur, ia memeriksa terlebih dahulu memeriksa pintu depan apakah telah terkunci atau belum, dan ketika ia kembali menuju kamarnya, ia pun melewati kamar depan yang ditiduri kakakku tersebut. Dan pada kenyataannya kamar tersebut terbuka dengan di dalamnya gelap gulita, tanpa setitik cahaya pun berbias dari dalamnya.

Tiba-tiba Tante Ai berceletuk, “Sepenglihatanku…” katanya dengan ragu, menceritakan apa yang telah dilihatnya tadi malam karena ia kebetulan menginap. “…lampunya memang hidup kok, tapi hanya saja ada sesosok bayangan hitam yang berbentuk mirip kelelawar, hinggap dan menutupi lampu tersebut. Maka dari itu cahaya lampu tersebut tak bisa tampak sama sekali.”

Kami semua sontak terperangah diam, benarkah ada sosok semacam itu di salah satu kamar di rumah kami? Jika “ya” maka kami harus senantiasa hati-hati dalam menempatinya.

Malam ini aku kebetulan tidur sendirian di dalam rumah yang cukup panjang ini. Semua keluarga sedang bermalam di kampung karena ada acara, sehingga aku yang tak turut ikut terpaksa tidur sendirian di rumah dengan kebetulan berteman cuaca tak bersahabat.

Ketakutan masih meradang di sekujur tubuhku. Aku pun masih mendengar suara pintu kamar yang terbanting-banting tersebut di belakangku. Perlahan kuberanikan menengok apa yang terjadi dengan pintu itu. Alangkah mengherankannya, pintu itu bergerak-gerak persis seperti selembar flywood yang ditiup oleh angin deras dari sampingnya: bergerak kiri kanan mengibas, menghantam tiang pintu yang menahannya. Benar-benar menakutkan jika harus kupikirkan penyebab lainnya.

Sebenarnya aku memilih tidur di ruang tengah bukan tanpa sebab, karena aku takut tidur sendirian di kamar, makanya aku memilih tidur di tempat yang lebih lebar. Namun siapa sangka aku lupa memperhitungkan kemungkinan hal seperti ini kan terjadi.

Hati ini bertanya-tanya, “haruskah kejadian menyeramkan ini harus kujalani sampai pagi?” Pastinya tidak ‘kan?!

Aku kembali mencoba menenangkan diriku, dengan berkali-kali mensugestikan hal positif ke dalam diriku. Badanku yang kedinginan pun coba kuhangatkan dengan kedua tangan menyilang di dada.

Seperti hal itu cukup berhasil. Perlahan badanku menghangat dan suara-suara berisik itu perlahan mengecil, seolah semuanya akan mencapai titik akhir. Ya! Mungkin irama menyeramkan itu telah mencapai batas ujung nadanya, pikirku. Sehingga semakin lama suaranya semakin mengecil dan mengecil, dan suara itu mendadak hilang seperti tertelan bumi.

Hari itu terik mentari bersinar terang. Panasnya akan sangat cukup untuk sekedar mengeringkan ikan asin dalam tempo waktu sehari. Maklumlah wilayah Kalimantan, suhu udaranya memang terkenal panas, karena merupakan pulau yang dilalui garis katulistiwa. Sehingga kala siang tiba, matahari akan terasa seperti berada di atas kepala.

Siang itu aku sedang berada di ujung dapur bersama ibu. Namun aku bukan membantunya memasak, melainkan hanya sedang menatap ikan-ikan teri yang berenang ke sana ke mari di pinggiran rumahku. Makluklah orang-orang di desaku sedang kaya-kayanya: kolam renang di sana sini; samping rumah, kiri dan kanan; serta kolam super lebar lengkap dengan ikan-ikan di belakang rumah. Kasarnya, saat itu sedang banjir.

Untungnya banjir kala itu tak terlalu besar, masih menyisakan jarak 5 jari dari lidahnya menyentuh lantai rumah panggung kami.

Siang itu. Entah mengapa aku melihat Dan, kakak tertuaku, memasuki dapur dengan wajahnya yang setengah sadar. Hari itu memang ia sedang demam dan sedang beristirahat di kamar depan sejak jam 10 pagi tadi. “Mungkin saja sekarang sedang terbangun karena lapar” pikirku.

Tiba-tiba ia naik dan berjongkok di pinggir jendela, seolah ia adalah burung kakak tua yang hinggap hendak mencari makan.

Ibuku yang kala itu baru selesai memasak merasa gusar, melihat tingkahnya yang begitu aneh, apalagi jika mengingat ia sedang terserang demam.

“Hei Dan, lagi ngapain?” Serunya, khawatir putra sulungnya tersebut terjatuh ke air yang cukup dalam tersebut. “Jangan di situ nan…” belum sempat lagi ia berucap, Kakak tertuaku tersebut telah terjun dari jendela.

Mendadak kami semua kaget bukan kepalang dengan apa yang terjadi. Karena seyogya-nya orang demam panas, kemungkinan berdelusi bisa saja terjadi, apalagi ketika berada di waktu tengah hari, waktu yang menjadi kepercayaan orang kampung kami sebagai salah satu titik kegiatan makhluk-makhluk astral untuk menjalankan misinya, menganggu umat manusia.

Untunglah kakakku itu keburu sadar dan segera berenang mendekat ke jendela untuk segera kami tarik naik.

Setelah berhasil naik, ia tampak sedikit linglung dengan apa yang terjadi. Begitupun kami, bingung dengan apa yang sedang dipikirkannya, sampai-sampai ia melompat ke air kotor dan dalam tersebut.

“Ada apa Dan, kok kamu tadi lompat dari jendela?” Tanya ibuku cemas sambil memberikan handuk kepadanya.

“Ti.. tidak!” Jawabnya, agak ragu, “..aku tadi merasa ada yang menyuruhku pergi ke dapur dan melompat dari jendela!” Sontak kami semua pun sadar, seharusnya kami tak menempatkan seseorang yang sakit pada kamar depan yang angker tersebut.

Mendadak aku terbangun dari tidurku. Saat kutatap tulisanku, belum juga rampung. Rupa-rupanya saat menulis tadi aku ketiduran, sehingga belum juga selesai sampai se-pagi ini. Seperti biasa ketika aku menulis sembari bersantai dengan berbaring di dalam kamarku, aku selalu tak sengaja ketiduran. Mataku senantiasa terasa berat seakan lelah membaca tulisan jelekku yang membosankan.

Saat kembali lagi kubaca tulisanku, aku menjadi teringat dengan masa laluku. Masa-masa itu ialah salah satunya yang tersaji dalan ceritaku ini. Ini bukan hanya khayalan belaka. Ini merupakan bagian dari fakta hidupku. Bagian yang menyimpan pengalaman mistis dan menakutan satu-satunya yang kupunya.

Sebelumnya, aku hanya mendapat bisikan tentang imajinasi belaka, namun kali ini entah mengapa berbeda? Bisikan dalam otakku itu kali ini memberi inspirasi tentang kisah hidupku sendiri.

Mungkin sudah sepantasnya pengalaman kita menjadi cerita kita sendiri. Bukan lagi menjadi bagian yang lain, di luar hidup kita.

Aku Ibarat Gula

Aku tercipta dari sebuah makhluk besi besar, mengkilap jika terkena cahaya matahari. Bersama adik-adiku yang berjumlah ribuan, bahkan milyaran. Terkumpul dalam sebuah bak raksasa yang sungguh teduh suhunya. Dari tempat persalinan inilah, aku lahir melihat dunia yang sungguh belum pernah aku lihat sebelumnya. Tapi tidak sepenuhnya asing. Ada rasa seperti pernah merasakan sesuatu. Seperti dejavu. Iya, aku baru tahu. Sesuatu yang sangat terang itu orang-orang menyebutnya cahaya.

Banyak aku dengar dari orang-orang, bahwa cahaya sangat berpengaruh bagi bumi. Cahaya menjadi sumber kehidupan berbagai makhluk di dalamnya. Manusia perlu berhutang budi pada cahaya. Walaupun ia menyilaukan, tapi dirinyalah obat gratis, yang tidak perlu resep dokter untuk menebusnya. Yah, aku masih belum puas untuk menyibak segala informasi-informasi mengenai cahaya. Serasa ada beban di hati ini yang belum terselesaikan. Aku belum begitu bisa mendapat jawaban. Ada keterkaitan apa antara aku dan cahaya. Tidak dapat kugambarkan begitu jelas. Rasa ini terus berusaha menjebol tembok besar pertahanan rasa amanku. Bertransformasi menjadi rasa penasaran yang meledak-ledak.

Aku ditempatkan di sebuah tempat dimana banyak orang-orang berkunjung untuk membawa sesuatu yang mereka inginkan dari tempat ini. Aku sangat senang berada disini. Lihatlah lantai kayu parquet yang hangat itu. Begitu indah menjadikan ruangan ini lebih berbobot. Aku duduk di pelataran paling atas memandangi ikan-ikan yang sudah terbelah-belah, dijadikan belanjaan oleh para ibu-ibu. Roti yang nampak gemuk-gemuk di ujung sana. Ludes jadi rebutan semua orang. Lucunya adalah teh dan kopi, yang seakan tidak mau dipisahkan dari rak itu. Semua tampak menyenangkan disini.

Seketika pandanganku tertuju pada seorang anak kecil berpakaian putih agak lusuh, meminta kepada ibunya untuk dibelikan kue coklat yang letaknya persis di seberang tempatku.
Ibunya hanya diam menanggapi permintaan anaknya. Sementara anaknya terus meminta.
Sudah lama bu aku tidak merasakan kue coklat itu, tidakah ibu menyisikan uang sedikit saja?”.
Maaf nak, Kue coklat itu sangat mahal untuk kita sekarang, gaji yang ibu terima masih belum cukup
Aku ingin waktu kembali seperti dulu bu, ketika Ayah masih ada di rumah”. Sedikit terisak
Mata sang ibu berkaca-kacaIbu janji, kalau ada uang pasti ibu belikan, kau adalah anakku satu-satunya, jangan sedih ya.
Makasih bu, aku juga berjanji akan terus bersabar”.
Sang ibu masih berada di tempatnya, lalu bergumamTerimakasih telah memberikan malaikat kecil itu padaku, ya tuhan”. Ia tiba-tiba mengambil berbagai macam benda di depannya, dan ia berhenti di depanku. Aku sempat tegang pada situasi ini. Aku tak menyangka ternyata ia meraihku juga untuk di bawa bersama barang-barang tadi. Kalau saja suaraku dapat terdengar. Aku akan berteriak sekeras-kerasnya, untuk mengucapkan. Selamat tinggal kawan.

Aku berada di sebuah becak dengan terpal yang tidak tertutup, sepertinya rusak. Dengan begitu, terpaan cahaya matahari yang panas langsung menerpa kami. Mungkin bagi sebagian orang, kepanasaan di siang hari sangat menjengkelkan. Namun bagiku seperti bertemu dengan kesenangan, yang sambung menyambung menjadi simpul ketentraman.

Sesampainya di rumah, sang anak langsung menuju ruang keluarga untuk duduk melepas lelah. Sang ibu menghampiri dengan segelas air dingin. Aku terpana melihat rumah sederhana ini. Berdindingkan bata yang terlihat sangat kusam. Dengan lantai ubin hitam yang mungkin tidak terlalu istimewa bagiku. Namun semuanya menjadi tidak perlu indah. Melihat kedamaian keluarga ini.

Baru saja bangun dari tidur yang cuma sebentar sedari tadi. Tiba-tiba, aku sudah berada di atas baskom ini. Bercampur dengan beberapa teman baruku, yang bernama: mentega, terigu, susu, telur, dan cokelat. Aku memperkenalkan diri, bahwa aku adalah gula. Tubuhku manis, sangat disukai orang-orang. Namun aku masih bersedih, karena belum bisa mengetahui siapa diriku dan darimana aku berasal. Hubungan batinku dengan cahaya matahari, masih menjadi misteri dingin bagiku.

Malam ini, saat ibu dan anak berkumpul di meja makan. Dengan hidangan istimewa tersaji di antara aku yang sudah berbentuk kue coklat yang harum. Sungguh sebuah kehormatan berada di panggung meja berkain batik ini. Menyuguhkan kenikmatan selingkar kue cokelat. Kepada dua orang yang sedang melawan tantangan kehidupan dan berusaha menikmatinya.
Terima kasih ibu, sudah membuatkan kue coklat ini, aku senang sekali malam ini. semoga ayah yang ada di penjara sana turut bahagia ya bu”.
Hanya ini yang bisa ibu berikan untukmu, ini tidak seberapa dibandingkan kue coklat di toko tadi.
Aku akan selalu sayang padamu bu, walaupun banyak orang yang berkata jelek pada kita”.
Seketika sang ibu mendekap anaknya dan berucap dengan pelan. “Nak, kau tahu keluarga kita bagaikan tebu, sebelum menjadi gula yang manis, dirinya adalah tanaman yang rupanya sama sekali tidak indah. Namun ia adalah tanaman yang mandiri yang mampu berkembang sendiri dengan bantuan cahaya matahari. Sepanjang siang, pohon tebu selalu disinari cahaya matahari, kau tau kan panasnya?. Tetapi berkat cahaya matahari lah, dia bisa berfotosintesis. Sehingga ia dapat tumbuh dan bisa dijadikan gula yang manis. Tentunya juga kue coklat ini”. Seraya menyuapi anaknya kue coklat itu.

Aku sebagai gula akhirnya paham. Bahwa, dulu cahaya matahari sering mengunjungiku yang masih berwujud tebu. Untuk sekedar bersapa ria dengan klorofil-klorofil yang berproses menjadi suatu zat manis, cikal bakal aku yang sekarang. Aku telah sadar, bahwa malam ini mungkin menjadi malam terakhirku hidup di dunia ini. Tetapi aku tidak menyesal juga mati untuk keluarga ini. Setidaknya dari mereka, aku tahu. Bahwa aku dan cahaya memang pernah bersama.