Lama rasanya
tak kutorehkan sebaris tulisan dalam handphoneku ini. Biasanya setiap berkutat
dengannya kususun kata demi kata yang terngiang di kepalaku, kuketik perlahanan
dengan keyboard virtualku, dan kusimpan dalam file ‘txt’ standar, agar mudah
kubuka di gadget apa saja ketika hendak membacanya. Terkadang, jika ada waktu
senggang dan kebetulan memiliki pulsa lebih, tulisanku ku-publish di blog
sederhanaku.
Hari ini
beberapa hari dari hari Fitri, aku kembali melakoni kehidupan mengganggur penuh
imajinasiku. Kehidupanku yang membosankan dan acapkali
terkhayalkan sesuatu yang berlebihan. Mungkin memang
sepatutnya ‘ku berpuasa agar bisa lebih menahan diri dari khayalan yang
tercela.
Kata-kata itu
mulai lagi – berbisik di dalam kepalaku. Diriku
terkadang seperti orang gila, kemana-mana membawa khayalan. Terkadang aku tersenyum sendiri, terkadang pula aku ingin bersedih
– mengikuti alur jalan cerita khayalan dalam kepalaku.
Sepenggal
cerita misteri berproyeksi dalam otakku. Tak akan
berhenti ia berjalan, jika tanpa kukeluarkan dalam bentuk sebuah tulisan.
Petir
menyambar, menggelegar menyelingi derau hujan deras yang bergemuruh. Kilat berpendar memancarkan cahaya putih menyilaukan yang ketika
kita menatapnya seolah penglihatan kita menjadi merah, seakan hujan telah
berubah menjadi hujan darah. Aku dalam kesendirianku meringkuk sendiri
di dalam rumahku di ruang tengah depan tv, yang tengah
bertemaram ria diterangi oleh cahaya kecil dari lampu tempel karena memang
kebetulan wilayahku sedang giliran mati lampu.
Cuaca dingin
serasa merasuk ke celah tulang-tulangku. Memaksaku meringkuk bak udang
di atas kasurku yang tipis – tanpa berbalut selembar selimut pun untuk menolong
menghangatkan tubuhku.
Entah mengapa
malam itu aku kesulitan tidur. Cuaca yang dingin,
berisik, dan juga didukung oleh PLN yang menggilir jatah hidup lampu bak bagi
sembako, bergiliran, membuat suasana malamku jadi tidak nyaman, sehingga sangat
sulit rasanya untuk kupejamkan mataku ini.
Mula-mula aku
hanya biasa saja. Namun seiring malam yang semakin larut dan cuaca yang
kian tak bersahabat, perlahan membuatku mendadak merasakan suasana yang lain. Bulu kudukku tiba-tiba merinding.
Tepat
kira-kira saat tengah malam tiba, aku dikagetkan oleh suara pintu salah satu
kamar yang terbanting-banting berulang kali. Aku kaget
bukan main dan nafasku pun seketika berat. Pikirku, semua jendela telah
tertutup rapat, jadi tak mungkin ada angin yang masuk dan menggerakkannya,
apalagi ritmenya terasa sangat intens dan jaraknya pun tak terlalu jauh dengan
posisiku berbaring, jadi mustahil ada angin yang menggerakkannya jika aku tak
merasakan angin tersebut sama sekali.
Aku mencoba
bertahan berpikiran positif, tapi tetap tak bisa. “Aku
mengenal baik kamar tersebut!” Batinku. Aku ingat setiap cerita dari orang yang pernah menempatinya.
Kesaksian hidup dari orang-orang yang pernah merasakan
suasana mistisnya membuatku takut, “adakah giliran aku pula yang berkesempatan
mengalaminya?” Semoga saja tidak! Mohonku dalam hati.
Konon di suatu
pagi, ketika kami sekeluarga sedang sarapan, ibuku bertanya kepada kakak
tertuaku, “Hei Dan, kenapa tadi malam lampu tempel di kamarmu mati?” Tanyanya dengan heran. Karena kebetulan
semalam wilayah kami sedang terkena giliran mati lampu sampai pagi, karena
itulah saban sorenya kami telah menyiapkan lampu-lampu tembok kecil atau yang
biasa juga disebut lampu tempel, sebagai penerangan bagi tiap-tiap ruangan yang
diperlukan.
“Tidak kok!”
Kata kakak tertuaku tersebut menjawab, “Lampunya menyala kok
sampai pagi.”
Ibuku sontak terdiam, seingatnya
malam itu sebelum tidur, ia memeriksa terlebih dahulu
memeriksa pintu depan apakah telah terkunci atau belum, dan ketika ia kembali
menuju kamarnya, ia pun melewati kamar depan yang ditiduri kakakku tersebut. Dan pada kenyataannya kamar tersebut terbuka dengan di dalamnya
gelap gulita, tanpa setitik cahaya pun berbias dari dalamnya.
Tiba-tiba
Tante Ai berceletuk, “Sepenglihatanku…” katanya dengan ragu, menceritakan apa
yang telah dilihatnya tadi malam karena ia kebetulan menginap. “…lampunya
memang hidup kok, tapi hanya saja ada sesosok bayangan hitam yang berbentuk
mirip kelelawar, hinggap dan menutupi lampu tersebut. Maka
dari itu cahaya lampu tersebut tak bisa tampak sama sekali.”
Kami semua
sontak terperangah diam, benarkah ada sosok semacam itu di salah satu kamar di rumah
kami? Jika “ya” maka kami harus senantiasa hati-hati
dalam menempatinya.
Malam ini aku
kebetulan tidur sendirian di dalam rumah yang cukup panjang ini. Semua keluarga sedang bermalam di kampung karena ada acara,
sehingga aku yang tak turut ikut terpaksa tidur sendirian di rumah dengan
kebetulan berteman cuaca tak bersahabat.
Ketakutan
masih meradang di sekujur tubuhku. Aku pun masih
mendengar suara pintu kamar yang terbanting-banting tersebut di belakangku.
Perlahan kuberanikan menengok apa yang terjadi dengan
pintu itu. Alangkah mengherankannya, pintu itu bergerak-gerak persis seperti
selembar flywood yang ditiup oleh angin deras dari sampingnya: bergerak kiri
kanan mengibas, menghantam tiang pintu yang menahannya. Benar-benar
menakutkan jika harus kupikirkan penyebab lainnya.
Sebenarnya aku
memilih tidur di ruang tengah bukan tanpa sebab, karena aku takut tidur
sendirian di kamar, makanya aku memilih tidur di tempat yang lebih lebar.
Namun siapa sangka aku lupa memperhitungkan kemungkinan hal seperti ini kan terjadi.
Hati ini
bertanya-tanya, “haruskah kejadian menyeramkan ini harus kujalani sampai pagi?”
Pastinya tidak ‘kan?!
Aku kembali
mencoba menenangkan diriku, dengan berkali-kali mensugestikan hal positif ke
dalam diriku. Badanku yang kedinginan pun coba
kuhangatkan dengan kedua tangan menyilang di dada.
Seperti hal
itu cukup berhasil. Perlahan badanku menghangat dan suara-suara berisik
itu perlahan mengecil, seolah semuanya akan mencapai
titik akhir. Ya! Mungkin irama menyeramkan itu telah mencapai
batas ujung nadanya, pikirku. Sehingga semakin lama
suaranya semakin mengecil dan mengecil, dan suara itu mendadak hilang seperti
tertelan bumi.
Hari itu terik
mentari bersinar terang. Panasnya akan sangat
cukup untuk sekedar mengeringkan ikan asin dalam tempo waktu sehari. Maklumlah wilayah Kalimantan, suhu udaranya memang terkenal panas,
karena merupakan pulau yang dilalui garis katulistiwa. Sehingga kala
siang tiba, matahari akan terasa seperti berada di
atas kepala.
Siang itu aku
sedang berada di ujung dapur bersama ibu. Namun aku bukan membantunya
memasak, melainkan hanya sedang menatap ikan-ikan teri
yang berenang ke sana ke mari di pinggiran rumahku. Makluklah orang-orang di
desaku sedang kaya-kayanya: kolam renang di sana sini;
samping rumah, kiri dan kanan; serta kolam super lebar lengkap dengan ikan-ikan
di belakang rumah. Kasarnya, saat itu sedang banjir.
Untungnya
banjir kala itu tak terlalu besar, masih menyisakan jarak 5 jari dari lidahnya
menyentuh lantai rumah panggung kami.
Siang itu.
Entah mengapa aku melihat Dan, kakak tertuaku, memasuki dapur
dengan wajahnya yang setengah sadar. Hari itu memang ia
sedang demam dan sedang beristirahat di kamar depan sejak jam 10 pagi tadi. “Mungkin saja sekarang sedang terbangun karena lapar” pikirku.
Tiba-tiba ia
naik dan berjongkok di pinggir jendela, seolah ia adalah burung kakak tua yang
hinggap hendak mencari makan.
Ibuku yang kala itu baru selesai
memasak merasa gusar, melihat tingkahnya yang begitu aneh, apalagi jika
mengingat ia sedang terserang demam.
“Hei Dan, lagi ngapain?” Serunya, khawatir putra sulungnya tersebut terjatuh ke air yang
cukup dalam tersebut. “Jangan di situ nan…” belum sempat lagi ia berucap, Kakak tertuaku tersebut telah terjun dari
jendela.
Mendadak kami semua kaget bukan
kepalang dengan apa yang terjadi. Karena
seyogya-nya orang demam panas, kemungkinan berdelusi bisa saja terjadi, apalagi
ketika berada di waktu tengah hari, waktu yang menjadi kepercayaan orang
kampung kami sebagai salah satu titik kegiatan makhluk-makhluk astral untuk
menjalankan misinya, menganggu umat manusia.
Untunglah
kakakku itu keburu sadar dan segera berenang mendekat ke jendela untuk segera
kami tarik naik.
Setelah berhasil naik, ia tampak sedikit linglung dengan apa yang terjadi.
Begitupun kami, bingung dengan apa yang sedang
dipikirkannya, sampai-sampai ia melompat ke air kotor dan dalam tersebut.
“Ada apa Dan,
kok kamu tadi lompat dari jendela?” Tanya ibuku cemas
sambil memberikan handuk kepadanya.
“Ti.. tidak!” Jawabnya, agak ragu, “..aku
tadi merasa ada yang menyuruhku pergi ke dapur dan melompat dari jendela!”
Sontak kami semua pun sadar, seharusnya kami tak menempatkan seseorang yang
sakit pada kamar depan yang angker tersebut.
Mendadak aku
terbangun dari tidurku. Saat kutatap tulisanku, belum
juga rampung. Rupa-rupanya saat menulis tadi aku
ketiduran, sehingga belum juga selesai sampai se-pagi ini. Seperti biasa ketika aku menulis sembari bersantai dengan berbaring
di dalam kamarku, aku selalu tak sengaja ketiduran. Mataku
senantiasa terasa berat seakan lelah membaca tulisan jelekku yang membosankan.
Saat kembali
lagi kubaca tulisanku, aku menjadi teringat dengan masa laluku. Masa-masa itu ialah salah satunya yang tersaji dalan ceritaku ini.
Ini bukan hanya khayalan belaka. Ini
merupakan bagian dari fakta hidupku. Bagian yang
menyimpan pengalaman mistis dan menakutan satu-satunya yang kupunya.
Sebelumnya,
aku hanya mendapat bisikan tentang imajinasi belaka, namun kali ini entah
mengapa berbeda? Bisikan dalam otakku itu kali ini
memberi inspirasi tentang kisah hidupku sendiri.
Mungkin sudah
sepantasnya pengalaman kita menjadi cerita kita sendiri. Bukan lagi
menjadi bagian yang lain, di luar hidup kita.